Sekolah Gratis, Kualitas atau Formalitas?

Sekolah Gratis, Kualitas atau Formalitas?
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgArJhwBJ594bWGshIsmCEYTnztRmczPTf-vDwKXOAM3C8AEI0Hxj4Jb_ynRfsE2cZz_ttZBJVXuk9z-Bcy5Eozj7bMWRB2mdAwCH68dXrQ8UMtYluGkNOfTPJzWlDfDoA0oIfRKbnLsrM/s72-c/1102453-menghormati-jasa-pendidik-620X310.JPG
Mengingat  beberapa tahun ke belakang, wajah dunia pendidikan boleh dikatakan cukup terpuruk. Anggaran dana yang katanya sampai 20%, jelas-jelas tak terlalu dirasakan secara merata oleh para pelajar. Terlebih bagi mereka yang memiliki semangat tinggi untuk bersekolah tapi terbentur biaya yang mahal. 

Berbagai opini pun bermunculan sebagai reaksi dari ketidaksesuaian penerapan program tersebut. Dan kebanyakan memberikan statement buruk berupa sindiran, “Ke mana anggaran yang 20% itu?” Tapi akhirnya keresahan itu terjawab. 

Di tahun 2012, semua sekolah mulai dari SD, SMP, sampai SMA (khususnya di DKI Jakarta dan Sumatera Selatan) yang tercakup dalam program wajib belajar 12 tahun benar-benar digratiskan secara total. Cukup melegakan memang, namun nyatanya tak serta merta kita dapat mengatakan hal tersebut sebagai solusi jitu. 

Mengapa? 
Di sinilah kita sebagai masyarakat harus mencermati secara detil tiap keputusan yang diambil para pemimpin kita. Ada beberapa dampak kurang baik yang kemungkinan besar bisa terjadi akibat keputusan untuk menggratiskan semua sekolah. 

Pertama, dari segi keseriusan belajar para siswa bisa jadi akan berkurang akibat menyepelekan gratisnya sekolah. Pada saat sekolah mahal, beberapa lapisan memang mengeluhkan sulitnya memperoleh pendidikan yang layak. 

Namun sisi baiknya adalah, para pelajar yang memahami betapa berharganya pendidikan yang harus dibayar dengan banyaknya rupiah, secara sadar akan menghargai setiap ilmu pengetahuan yang didapatnya. Berbeda dengan ketika kondisinya semua digratiskan. Akan ada banyak kalangan yang menganggap remeh pendidikan yang hakikatnya gratis adalah untuk memudahkan, tapi pada implementasinya lebih mengarah kepada memanjakan. 

Kedua, “adil itu tak berarti sama”. Jika dalam sebuah keluarga ada dua orang anak, anak pertama berusia 17 tahun dan anak kedua berusia 7 tahun, sang ayah justru akan disebut tidak adil ketika memberikan uang saku sama besarnya pada mereka berdua. Sebab, kebutuhan mereka berbeda. Begitu pun dengan gratisnya semua sekolah. 

Rasanya tak adil jika sekolah-sekolah yang notabene adalah sekolah yang siswanya berasal dari anak-anak pengusaha kaya bahkan para pejabat pemerintahan, ikut digratiskan pula. Efeknya akan berimbas pada kebutuhan internal sekolah itu sendiri, seperti gaji untuk para guru honor, perbaikan sekolah secara berkala, gaji penjaga sekolah, petugas keamanan sekolah, dan biaya-biaya tak terduga lain yang jumlahnya tak bisa dianggap kecil. 

Biaya subsidi yang ada dan diberikan pemerintah, rasanya tak cukup untuk menutupi semua kebutuhan tersebut. Itulah sebabnya, beberapa pihak hari ini mempertanyakan program gratis belajar yang “dipukul rata” ini pada dasarnya ingin memajukan kualitas pendidikan atau hanya sekadar formalitas menjalankan janji politik? 

Solusi terbaik yang pernah dilakukan pemerintah adalah “Subsidi Silang”. Pembebanan biaya tetap diberikan kepada siswa-siswa mampu, dan penggratisan diberikan kepada para siswa kurang mampu yang memiliki keinginan untuk belajar. 

Kelemahan dalam penerapan program subsidi silang selama ini adalah tidak tepatnya sasaran subsidi tersebut. Masih lemahnya koordinasi dinas pendidikan menyentuh masyarakat menengah ke bawah, membuat program ini banyak yang jatuh ke tangan orang-orang yang sebenarnya bukan merupakan target utamanya. 

Jika subsidi silang sudah dapat diterapkan dengan baik dan hasilnya telah memenuhi standar operasional yang ditentukan, maka sisa dari anggaran dana pendidikan bisa digunakan untuk pembangunan yang lebih besar seperti perbaikan akses jalan dan peningkatan kualitas pendidikan di daerah-daerah terpencil yang ada di negeri ini. 

Sederhananya, lebih baik sebagian dananya digunakan untuk memperbaiki jalan, membangun jembatan, dan mengadakan pelatihan khusus bagi pengajar di pelosok-pelosok ketimbang dana tersebut dikucurkan untuk menggratiskan sekolah anak-anak dari keluarga mampu. Sebab, saya yakin mereka pun takkan keberatan jika sekolah tetap berbayar. 

Tentunya kita miris ketika ada tayangan di televisi, yang memberitakan ada banyak daerah di Indonesia yang jumlah sekolahnya sedikit dengan jarak yang cukup jauh dari permukiman siswanya. Puluhan kilometer harus ditempuh anak-anak itu dengan berjalan kaki. Mereka kadang harus menerobos hutan, menyeberangi sungai hanya dengan dua utas tali besar yang dibentangkan dari satu sisi ke sisi lain sungai tersebut, seutas tali digunakan untuk pijakan, dan seutas lainnya untuk pegangan mereka. 

Kita mengenal alat semacam itu biasanya digunakan dalam permainan outbound. Tapi ini sama sekali bukan permainan, ini adalah realita dari anak-anak negeri yang menggantungkan masa depannya di atas perjuangan mereka mempertaruhkan nyawa. Indonesia bukan hanya milik kota-kota besar. Daerah-daerah terpencil pun punya hak yang sama untuk mendapat perhatian dari pemerintah. Bahkan, bisa jadi di daerah-daerah tersebut justru banyak bibit-bibit baru manusia berkualitas yang amat disayangkan jika kualitas pendidikannya tidak didukung oleh kepedulian pemerintah. 

Semoga ke depan, Indonesia akan benar-benar dapat menghilangkan noda hitam yang hari ini sudah terpampang jelas di pelupuk mata rakyatnya. Jika setiap individu mampu bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan berusaha bermanfaat untuk orang lain, maka terciptanya Indonesia sejahtera bukan lagi hanya semboyan belaka, namun juga akan menjadi kenyataan manis yang meninggikan nilai negeri ini di mata dunia.[] Rohmat Syaifuddin 

 Sumber  : ROL
 Editor    : Wani Sailan.

Related product you might see:

Share this product :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Grafika Pendidikan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger